Welcome~ :)

Blog ini adalah sekumpulan coretan yang dihimpun pada masa sekolah dan--semoga--masa kuliah. Bila berkenan, tinggalkan komentar berisi saran yang berguna untuk kemajuan blog ini.
Semoga blog ini banyak memberi manfaat :)

Jumat, 27 Agustus 2010

MAKALAH SENI BUDAYA-KELAS X

KATA PENGANTAR

Makalah ini dibuat didasari oleh semangat untuk melestarikan hasil karya leluhur bangsa Batak dalam bidang seni musik, dalam hal ini adalah kesenian Gondang Batak.

Latar belakang Tanah Batak dulunya dihuni masyarakat berbudaya dengan tatanan kemasyarakatan yang harmonis, adil, dan damai. Diayomi pemimpin yang karismatik, adil, serta jujur. Mereka mewariskan kepada keturunannya kearifan, seni budaya dan sastra yang bernilai tinggi, seperti aksara, tenunan, tortor dan gondang. Namun, perkembangan jaman telah mempengaruhi terkikisnya nilai seni budaya batak yang berharga itu.

Gondang batak, salah satu karya seni musik batak yang sangat kaya dan menjadi kekaguman bagi dunia. Repertoarnya yang beragam memenuhi segala kebutuhan seni yang digunakan untuk beragam kegiatan seperti pada upacara keagamaan, upacara adat, maupun sebagai hiburan. Erosi Gondang Batak modernisasi telah menggempur sendi kebesaran Gondang Batak. Kita hanya bisa melihat alat kesenian itu dimainkan dengan versi modern, repertoar gondang batak yang asli sudah jarang dimunculkan. Pemain gondang batak muda tidak lagi mementingkan penguasaan ragam gondang batak, karena pada umumnya masyarakat batak lebih menginginkan irama modern seperti nyanyian bahkan dangdut. Seniman tua gondang batak saat ini di toba pun sudah jarang memunculkan ragam gondang batak itu karena ketidakmampuan masyarakat mengenalinya.

Penggalian dan dokumentasi seniman gondang batak saat ini tinggal sedikit yang mampu mengenali dan memainkan gondang batak itu dengan baik dan benar. Mereka sudah tua dan sebagian sudah digerogoti penyakit. Kehilangan mereka akan menjadi langkah sejarah terkuburnya ragam seni gondang batak.

Memanfaatkan peluang saat ini sebaliknya akan menjadi momen sejarah penyelamatan karya seni gondang batak itu dan menjadi acuan pembelajaran pada generasi mendatang.












Malang, Juni 2009


Penulis,






PENDAHULUAN

Musik Gondang Batak dikenal, diterima, dan berkembang di berbagai daerah dengan nuansa dan ciri khas yang berbeda satu daerah dengan daerah lainnya sesuai dengan karakteristik masyarakat pendukungnya (khususnya orang batak) yang tidak lepas dari faktor budaya dimana mereka berada. Di daerah lain terdapat berbagai macam corak dan ciri khas atau nuansa musik Gondang Batak, yaitu musik Gondang Batak Tradisional, Gondang Batak Modern (dengan Irama dangdut), dan Gondang Batak Kontemporer (kolaborasi antara musik Modern dan Gondang Batak Tradisional).

Era musik Gondang Batak Tradisional ini semakin hilang popularitasnya digantikan budaya Barat dengan era musik popnya yang lebih popular dikalangan generasi muda, dibandingkan dengan musik tradisional (termasuk musik Gondang Batak). Musik Gondang Batak yang dianggap oleh kalangan muda sebagai suatu bentuk pertunjukkan musik yang membosankan dan hanya dapat dinikmati oleh kalangan generasi tua (khususnya yang lahir di kampung) membuat musik Gondang Batak Tradisional ini semakin tidak dikenal oleh generasi selanjutnya (generasi muda), selain itu masalah keefisienan dan kepraktisan akan waktu, teknis, dan biaya menjadi faktor - faktor lain yang menjadi penggeser musik Gondang Batak ini semakin tidak kelihatan, sehingga muncullah bentuk adaptasi kesenian itu sendiri untuk tetap menjaga bahkan untuk mempertahannkan kelestarian ataupun eksistensi Gondang Batak itu sendiri agar tidak sekedar menjadi cerita atau dongeng belaka.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan (mendeskripsikan) bagaimana sebenarnya musik Gondang Batak yang ada di daerah-daerah ataupun yang masih tradisional yang ada di Sumatera khususnya pada budaya Batak Toba, baik yang masih pada pola tradisional ataupun yang sudah merupakan hasil akulturasi masyarakat Batak yang ada di daerah dengan kebudayaan setempat sampai akhirnya muncul gaya – gaya atau corak – corak dalam Musik Gondang Batak (selain musik Gondang Batak Tradisional) dan faktor apa yang mendasari terjadinya perubahan tersebut serta apa makna dari hasil yang ditimbulkan.

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan diakronik dan historis, dikarenakan Group Musik Gondang Batak Bona Pasogit (tradisional) merupakan satu satu group musik yang memainkan Gondang Batak dengan corak tradisional dan group musik tersebut merupakan group musik yang muncul pertama kali di Jawa Timur dan populer di era tahun 80-an, namun mulai tahun 95-an mulai muncul group–group musik Gondang Batak dengan nuansa atau gaya musik yang berbeda yang lebih condong pada gaya musik dangdut maupun pop, maka pendekatan pada kurun waktu yang berbeda dengan sendirinya termasuk penulusuran sejarah yang digunakan agar dapat menggambarkan akulturasi ataupun perubahan yang ada dalam perkembangan musik Gondang Batak sebagai bentuk hasil ekspresi kreatifitas masyarakat batak yang ada di Jawa Timur.

ASPEK-ASPEK SEJARAH GONDANG BATAK

Gambar 1. Grup musik gondang batak tradisional

Ensambel musik yang memakai alat-alat terbuat dari perunggu di Sumatera biasanya terdiri dari perlengkapan yang punya empat sampai dua belas gong kecil, satu atau dua gong besar yang digantung, dua sampai sembilan kendang, satu alat tiup, penyari dan gembreng. Satu ensambel yang khas jenis ini ada gondang sabangunan dari Batak Toba. Ensambel ini masih dipakai dalam upacara agama Parmalim. Gondang sabangunan punya peran yang penting sekali dalam upacara agama tersebut. Seperti pada catatan di atas, ensambel ini terdiri dari 4 gong yang main siklus irama gongan yang singkat, perlengkapan lima kendang yang dikunci, satu sarune (alat tiup/obo), satu kendang besar, dan satu alat perkusi (biasanya botol) untuk memperkuatkan irama.

Musik gondang batak dipakai dalam upacara agama untuk menyampaikan doa manusia ke dunia atas. Waktu musik dimainkan, pemain sarune dan pemain taganing dianggap sebagai menifestasi Batara Guru. Musik ini digunakan untuk berkomunikasi dengan dunia atas dan rupanya tranformasi pemain musik ini terjadi untuk memudahkan hubungan dengan dunia atas. Transformasi paradigma ini di mitos Batak sangat mirip yang ada di Bali menunjuk bukti tidak langsung bahwa ada hubungan purbakala diantara kebudayaan Batak Toba dan kebudayaan Bali. Biarpun hal ini tidak dapat dibuktikan, ada kemungkinan yang berhubungan dengan sejarah, karena kedua kebudayaan masing-masing berhubungan paling sedikit sebagai batas keluar kerajaan majapahit. Bersangkut dengan konsep kosmos bertingkat tiga ada konsep tentang faktor mediasi; pohon kosmos atau pohon hidup. Dalam konsepsi Batak peran musik mirip peran pohon kosmos; musik juga menguhubungkan dunia masing-masing. Melalui musik gondang batasan diantara dunia dapat ditembus, doa manusia dapat sampai kepada debata, dan berkah debata dapat sampai kepada manusia.

Dengan kedatangan agama Kristen ke Tanah Batak, pokok kebudayaan Batak sangat diubah sekali. Interaksi dengan agama baru ini dan nilai-nilai barat menggoncangkan kebudayaan tradisi Batak Toba sampai ke akarnya. Menurut gereja Kristen musik gondang berhubungan dengan kesurupan, pemujaan roh nenek moyang, dan agama Batak asli, terlalu bahaya untuk dibolehkan terus dimainkan lagi. Pada awal abad kedua puluh Nommensen meminta pemerintah kolonial Belanda untuk melarang upacara bius dan musik gondang. Larangan ini bertahan hampir empat puluh tahun sampai pada tahun 1938. Itu merupakan suatu pukulan utama untuk agama tradisi Batak Toba dan musik gondang yang sangat terkait dengan agama tsb.



Pengertian Gondang

Pada tradisi musik Toba, kata gondang (secara harfiah) memiliki banyak pengertian. Antara lain mengandung arti sebagai : (1) seperangkat alat musik, (2) ensambel musik, (3) komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), (pasaribu 1987). Makna lain dari kata ini, berarti juga sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung (Irwansyah,1990).

Pengertian gondang sebagai perangkat alat musik, yakni gondang Batak.
Gondang Batak sering diidentikkan dengan gondang sabangunan atau ogling sabangunan dan kadang-kadang juga diidentikkan dengan taganing (salah satu alat musik yang terdapat di dalam gondang sabangunan). Hal ini berarti memberi kesan kepada kita seolah-olah yang termasuk ke dalam Gondang Batak itu hanyalah gondang sabangunan, sedangkan perangkat alat musik Batak yang lain, yaitu:
gondang hasapi tidak termasuk gondang Batak. Padahal sebenarnya gondang hasapi juga adalah gondang Batak, akan tetapi istilah gondang hasapi lebih dikenal dengan istilah uning-uningan daripada gondang Batak.

Gondang dalam pengertian ensambel musik terbagi atas dua bagian, yakni gondang sabangunan (gondang bolon) yang biasanya dimainkan di luar rumah/di halaman rumah, dan gondang hasapi (uning-uningan) yang biasanya dimainkan dalam rumah. Gondang sabangunan dan gondang hasapi adalah dua jenis ensambel musik yang terdapat pada tradisi musik Batak Toba. Secara umum fungsi kedua jenis ensambel ini hampir tidak memiliki perbedaan. Keduanya selalu digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat maupun upacara-upacara seremonial lainnya. Namun demikian kalau diteliti lebih lanjut, kita akan menemukan perbedaan yang cukup mendasar dari kedua ensambel ini.

Sebutan gondang dalam pengertian komposisi menunjukkan arti sebagai sebuah komposisi dari lagu (judul lagu secara individu) atau menunjukkan kumpulan dari beberapa lagu/repertoar, yang masing-masing ini bisa dimainkan pada upacara yang berbeda tergantung permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara untuk menari, termasuk di dalam upacara kematian saur matua. Misalnya : gondang si Bunga Jambu, gondang si Boru Mauliate dan sebagainya. Kata si bunga jambu, si boru mauliate dan malim menunjukkan sebuah komposisis lagu, sekaligus juga merupakan judul dari lagu (komposisi) itu sendiri.
Berbeda dengan gondang samba, samba Didang-Didang dan gondang elekelek (lae-lae). Meskipun kata gondang di sini juga memiliki pengertian komposisi, namun kata sombai;didang-didangi dan elek-elek memiliki pengertian yang menunjukkan sifat dari gondang tersebut, yang artinya ada beberapa komposisi
yang bisa dikategorikan di dalam gondang-gondang yang disebut di atas, yang merupakan “satu keluarga gondang”. Komposisi dalam “satu keluarga gondang,” memberi pengertian ada beberapa komposisi yang memiliki sifat dan fungsi yang sama, yang dalam pelaksanaannya tergantung kepada jenis upacara dan permintaan kelompok orang yang terlibat dalam upacara. Misalnya: gondang Debata
(termasuk di dalamnya komposisi gondang Debata Guru, Debata sari, Bana Bulan, dan Mulajadi); gondang Sahalai dan gondang Habonaran.

Gondang dalam pengertian repertoar contohnya si pitu Gondang. Si pitu Gondang atau kadang-kadang disebut juga gondang parngosi (baca pargocci) atau panjujuran Gondang adalah sebuah repertoar adalah reportoar/kumpulan lagu yang dimainkan pada bagian awal dari semua jenis upacara yang melibatkan aktivitas musik sebagai salah satu sarana dari upacara masyarakat Batak Toba. Semua jenis lagu yang terdapat pada si pitu Gondang merupakan “inti” dari keseluruhan gondang yang ada. Namun, untuk dapat mengetahui lebih lanjut jenis bagian apa saja yang terdapat pada si pitu Gondang tampaknya cukup rumit juga umumnya hanya diketahui oleh pargonsi saja. Lagu-lagu yang terdapat pada si pitu Gondang dapat dimainkan secara menyeluruh tanpa berhenti, atau dimainkan secara terpisah (berhenti pada saat pergantian gondang). Repertoar ini tidak boleh ditarikan. Jumlah gondang (komposisi lagu yang dimainkan harus di dalam jumlah bilangan ganjil, misalnya : satu, tiga, lima, tujuh).

Kata gondang dapat dipakai dalam pengertian suatu upacara misalnya gondang Mandudu (”upacara memanggil roh”) dan upacara Saem (”upacara ritual”). Gondang dapat juga menunjukkan satu bagian dari upacara di mana kelompok kekerabatan atau satu kelompok dari tingkatan usia dan status sosial tertentu yang sedang menari, pada saat upacara tertentu misalnya : gondang Suhut, gondang Boru, gondang datu, gondang Naposo dan sebagainya. Jika dikatakan gondang Suhut, artinya pada saat itu Suhut yang mengambil bagian untuk meminta gondang dan menyampaikan setiap keinginannya untuk dapat menari bersama kelompok kekerabatan lain yang didinginkannya. Demikian juga Boru, artinya yang mendapat kesempatan untuk menari; gondang datu, artinya yang meminta gondang dan menari; dan gondang naposo, artinya muda-mudi yang mendapat kesempatan untuk menari.

Selain kelima pengertian kata gondang tersebut, ada juga pengertian yang lain yaitu yang dipakai untuk pembagian waktu dalam upacara, misalnya gondang Sadari Saboringin yaitu upacara yang didalamnya menyertakan aktivitas margondang dan dilaksanakan selama satu hari satu malam. Dengan demikian, pengertian gondang secara keseluruhan dalam satu upacara dapat meliputi beberapa pengertian seperti yang tertera di atas. Pengertian gondang sebagai suatu ensambel musik tradisional khususnya, maksudnya untuk mengiringi jalannya upacara kematian saur matua.

Banyak istilah yang diberikan para ahli kebudayaan ataupun istilah dari masyarakat Batak itu sendiri terhadap gondang Sabangunan, antara lain: agung, agung sabangunan, gordang parhohas na ualu (perkakas nan delapan) dan sebagainya. Tetapi semua ini merupakan istilah saja, karena masing-masing pada umumnya mempunyai pengertian yang sama.

Diantara istilah-istilah tersebut di atas, istilah yang paling menarik perhatian adalah parhohas na ualu yang mempunyai pengertian perkakas nan delapan. Istilah ini umumnya dipakai oleh tokoh-tokoh tua saja, dan biasanya disambung lagi dengan kalimat “simaningguak di langit natondol di tano” (artinya berpijak di atas tanah sampai juga ke langit). Menurut keyakinan suku bangsa Batak Toba dahulu, apabila gondang sabangunan tersebut dimainkan, maka suaranya akan kedengaran sampai ke langit dan semua penari mengikuti gondang itu akan melompat-lompat seperti kesurupan di atas tanah (na tondol di tano). Biasanya semua pendengar mengakui adanya sesuatu kekuatan di dalam “gondang” itu yang dapat membuat orang bersuka cita, sedih, dan merasa bersatu di dalam suasana kekeluargaan.

Gondang sabangunan disebut “parhohas na ualu, karena terdiri dari delapan jenis instrumen tradisional Batak Toba, yaitu taganing, sarune, gordang, ogling ihutan, ogling oloan, ogling panggora, ogung doal dan hesek tanpa odap. Kedelapan intrumen itu merupakan lambang dari kedelapan mata angin, yang disebut “desa na ualu” dan merupakan dasar yang dipakai untuk sebutan Raja Na Ualu (Raja Nan Delapan) bagi komunitas musik gondang sabangunan. Pada masa awal perkembangan musik gondang Batak, instrumen-instrumen ini masing-masing dimainkan oleh satu orang saja. Tetapi sejalan dengan perubahan
jaman, ogling oloan dan ogling ihutan telah dapat dimainkan hanya oleh satu orang saja. Sedangkan odap sudah tidak dipakai lagi. Kadang-kadang peran hesek juga dirangkap oleh pemain taganing, sehingga jumlah pemain ensambel itu bervariasi. Keseluruhan pemain yang memainkan instrumen-instrumen dalam gondang sabangunan ini disebut pargonsi dan kegiatan yang menggunakan perangkat
perangkat musik tradisional ini disebut margondang (memainkan gondang).

A. Jenis Dan Fungsi Instrumen Gondang Sabangunan

Gondang Sabangunan sebagai kumpulan alat-alat musik tradiosional Batak Toba, terdiri dari taganing (perlengkapan terdiri dari lima kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune tsb), sarune bolon (sejenis alat tiup-“obo”), gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme), empat gong yang disebut ogung (ogling oloan, ogling ihutan, ogling panggora, ogling doal) dan hesek sebuah alat perkusi (biasanya sebuah botol yang dipukul dengan batang kayu atau logam) yang membantu irama. Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan masingmasing instrumen yakni fungsinya.

1. Taganing

Gambar 2. Taganing

Taganing adalah seperangkat gendang berbentuk silinder (membranophone) yang dipukul dengan kayu, yang dikunci dan memiliki peran melodis sama dengan sarune. Tangga nada gondang sabangunan disusun dalam cara yang sangat unik. Tangga nadanya dikunci dalam cara yang hampir sama (tetapi tidak persis) dengan tangga nada yang dimulai dari urutan pertama sampai kelima tangga nada diatonis mayor yang ditemukan di musik Barat: do, re, mi, fa, sol. Ini membentuk tangga nada pentatonis yang sangat unik, tidak bisa ditemukan ditempat lain di dunia ini. Seperti musik gamelan yang ditemukan di Jawa dan Bali, sistem tangga nada yang dipakai dalam musik gondang punya variasi diantara setiap ansambel, variasi ini bergantung pada estetis pemain sarune dan pemain taganing. Kemudian ada cukup banyak variasi diantara kelompok dan daerah yang menambah diversitas kewarisan kebudayaan ini yang sangat berharga.

Pemain taganing memiliki peran dan tanggung jawab istimewa karena disamping memberi ritme (aba-aba) juga memainkan melodi suatu lagu bersama dengan sarune. Dialah dirigen dan pemberi semangat semua musisi, disamping harus menguasai seluruh repertoar gondang.

Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai “pengaba” atau “dirigen” (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.

2. Gordang

Gambar 3. Gordang Sambilan

Gordang terdiri dari sembilan buah gendang dengan ukuran yang relatif sangat besar dan panjang. Gordang berfungsi sebagai pelengkap taganing dalam variasi ritme. Ukuran besar dan panjangnya kesembilan gendang tersebut bertingkat, mulai dari yang paling besar sampai pada yang paling kecil. Tabung resonator Gordang Sambilan terbuat dari kayu yang dilumbangi dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu yang ditegangkan dengan rotan sebagai alat pengikatnya. Untuk membunyikan Gordang digunakan kayu pemukul. Temponya selalu cepat sehingga tidak dapat diikuti penari. Penari mengikuti ritme ogung.

3. Sarune

Gambar 4. Seorang anak memainkan sarune

Sarune merupakan instrument tiup dari kayu berlidah ganda (double reed aerophone) yang bisa ditemukan di Jawa, India, Cina, dsb. Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing. Pemain sarune menggunakan teknik yang disebut marsiulak hosa (kembalikan nafas terus menerus) dan membiarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk tarik nafas. Pemain sarune juga istimewa karena tanggung jawab penguasaan repertoar sama dengan pemain taganing.

4. Ogung Oloan (pemimpin atau Yang Harus Dituruti)

Alat musik oloan, ihutan, panggora dan doal adalah gong dalam berbagai ukuran. Perannya juga bersifat ritmis. Agung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan. Fungsi dari agung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan agung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan.

Oleh karena musik dari gondang sabangunan ini pada umumnya dimainkan dalam tempo yang cepat, maka para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja. Berdasarkan hal ini, maka ogling oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti “pemimpin” atau “Yang harus di turuti” , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu “Yang menjawab” atau “Yang menuruti”. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan “tanya jawab”.

5. Ogung Ihutan atau Ogung pangalusi (Yang menjawab atau yang menuruti).

Peranan ihutan hampir sama dengan oloan tetapi dengan nada lebih tinggi. Perannya juga bersifat ritmis.

6. Ogung panggora atau Ogung Panonggahi (Yang berseru atau yang membuat orang terkejut).

Panggora akan berbunyi bersama-sama oloan pada pukulan kedua dan sekali ia berbarengan dengan ihutan. Perannya juga bersifat ritmis.

7. Ogung Doal (Tidak mempunyai arti tertentu)

Perannya bersifat ritmis. Fungsi nya adalah untuk memberi variasi ritme tambahan.

8. Hesek

Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan untuk menyempurnakan keseluruhan ritme.



B. Susunan Gondang Sabangunan

Menurut falasafah hidup orang Batak Toba, “bilangan” mempunyai makna dan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas adat. “Bilangan genap” dianggap bilangan sial, karena membawa kematian atau berakhir pada kematian. Ini terlihat dari anggota tubuh dan binatang yang selalu genap. menurut Sutan Muda Pakpahan, hal itu semuanya berakhir pada kematian, dukacita dan penderitaan (Nainggolan, 1979). Maka di dalam segala aspek kehidupan diusahakan selalu “bilangan ganjil” yang disebut bilangan na pisik yang dianggap membawa berkat dan kehidupan.

Dengan kata lain “bilangan genap” adalah lambang segala ciptaan didunia ini yang dapat dilihat dan hakekatnya akan berlalu, sedang “bilangan ganjil” adalah lambang kehidupan dan Pencipta yang tiada terlihat yang hakekatnya kekal. Itulah sebabnya susunan acara gondang sabangunan selalu dalam bilangan
ganjil. Nama tiap acara, disebut “gondang” yang dapat diartikan jenis lagu untuk nomor sesuatu acara. Susunan nomor acara juga harus menunjukkan pada bilangan ganjil seperti Satu, tiga, atau lima dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara. Sedangkan jumlah acara juga boleh menggunakan acara bilangan genap, misalnya :
dua nomor acara, empat atau enam.

Selanjutnya susunan acara itu hendaknya memenuhi tiga bagian, yang merupakan bentuk upacara secara umum, yaitu pendahuluan yang disebut gondang mula-mula, pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu, dan penutup yang disebut gondang hasatan. Ketiga bagian gondang inilah yang disebut si pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Walaupun dapat dilakukan satu, tiga, lima, dan sebanyakbanyaknya tujuh nomor acara atau jenis gondang yang diminta. “Gondang mulamula i ma tardok patujulona na marpardomuan tu par Tuhanon, tu sabala ni angka Raja dohot situan na torop”. Artinya Gondang mula-mula merupakan pendahuluan atau pembukaan yang berhubungan dengan Ketuhanan, kuasa roh raja-raja dan khalayak ramai.

  • Bentuk upacara yang termasuk gondang mula-mula antara lain:

1. Gondang alu-alu, untuk mengadukan segala keluhan kepada yang tiada terlihat yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta, biasanya dilakukan tanpa tarian.
2. Gondang Samba-Samba, sebagai persembahan kepada Yang Maha Pencipta. Semua penari berputar di tempat masing-masing dengan kedua tanganbersikap menyembah.

  • Yang termasuk gondang pasu-pasuan :

1. Gondang Sampur Marmere, menggambarkan permohonan agar dianugrahi dengan keturunan banyak.
2. Gondang Marorot, menggambarkan permohonan kelahiran anak yang dapat diasuh.
3. Gondang Saudara, menggambarkan permohonan tegaknya keadilan dan kemakmuran.
4. Gondang Sibane-bane, menggambarkan permohonan adanya kedamaian dan kesejahteraan.
5. Gondang Simonang-monang, menggambarkan permohonan agar selalu memperoleh kemenangan.
6. Gondang Didang-didang, menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia.

7. Gondang Malim, menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak mau ternoda.
8. Gondang Mulajadi, menggambarkan penyampaian segala permohonan kepada Yang Maha pencipta sumber segala anugerah.

Angerah pasu-pasuan i ma tardok gondang sinta-sinta pangidoan hombar tusintuhu ni na ginondangkan dohot barita ngolu. Artinya gondang pasu-pasuan merupakan penggambaran cita-cita dan pernohonan sesuai dengan acara pokok dan kisah hidup.

  • Sedangkan yang termasuk gondang penutup (gondang hasatan):

Gondang Sitio-tio, menggambarkan kecerahan hidup masa depan sebagai jawaban terhadap upacara adat yang telah dilaksanakan.
Gondang Hasatan, menggambarkan penghargaan yang pasti tentang segala yang dipinta akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama.
Gondang hasatan i ma pas ni roha na ingkon sabat saut sude na pinarsinta.
Artinya : Gondang hasatan ialah suatu keyakinan yang pasti bahwa semua cita-cita akan tercapai. Lagu-lagu untuk ini biasanya pendek-pendek saja. Dari ketiga bagian gondang tersebut di atas, maka para peminta gondang menentukan beberapa nomor acara gondang dan nama gondang yang akan ditarikan. Masing- masing gondang ditarikan satu nilai satu kali saja.

C. Syarat-Syarat Pemain Gondang Sabangunan

Para pemain instrumen-instrumen yang tergabung dalam komunitas gondang, disebut pargonsi. Biasanya, sebagian besar warga masyarakat Batak Toba tertarik mendengar alunan suara yang dikeluarkan oleh gondang sabangunan tersebut, tetapi tidak semuanya mampu memainkan alat-alat tersebut apalagi mencapai tahap pargonsi. Hal ini disebabkan karena adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang untuk dapat menjadi seorang pargonsi. Syarat-syarat tersebut seperti yang dikemukakan seorang ahlinya, antara lain:

1. Harus mendapat sahala dari Mulajadi Na Bolon (Sang Pencipta).
Sahala ini merupakan berkat kepintaran khusus dalam memainkan alat musik yang diberikan kepada seseorang sejak dalam kandungan. Dengan kata lain orang tersebut sudah dipersiapkan untuk menjadi seorang pargonsi sebagai permintaan Sang Pencipta.

2. Melalui proses belajar

Seseorang dapat menjadi pargonsi, dengan adanya bakat khusus yang diberikan Mulajadi Na Bolon sekaligus dipadukan dengan proses belajar. Sehingga itu seseorang memiliki ketrampilan khusus untuk dapat menjadi pargonsi. Walaupun melalui proses belajar, tetapi jika tidak diberikan sahala kepada orang tersebut, maka ia tidak berarti apa-apa atau tidak menjadi pargonsi yang pandai.

3. Mempunyai pengetahuan mengenai ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan dalam adat)

Maksudnya mengetahui struktur masyarakat Batak Toba yaitu Dalihan Na Tolu dan penerapannya dalam masyarakat.

4. Umumnya yang diberkati Mulajadi Na Bolon untuk menjadi seorang pargonsi adalah laki-laki.

Dengan alasan : Laki-laki merupakan basil ciptaan dan pilihan pertama Mulajadi Na Bolon. Laki-laki lebih banyak memiliki kebebasan daripada perempuan, karena para pargonsi sering diundang memainkan ke berbagai daerah untuk memainkan gondang sabangunan dalam suatu upacara adat.

5. Seseorang yang menjadi pargonsi harus sudah dewasa tetapi bukan berarti harus sudah menikah.

D. Pemain Musik Gondang Sabangunan

Seperti yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, bahwa keseluruhan pemain yang menggunakan instrumen-instrumen dalam gondang sabangunan disebut pargonsi. Dahulu, istilah pargonsi ini hanya diberikan kepada pemain taganing saja, sedangkan kepada pemain instrumen lainnya hanya diberikan nama
sesuai dengan nama instrumen yang dimainkannya, yaitu pemain ogling (parogung), pemain hesek
, dan pemain sarune (parsarune).

Dalam konteks sosial, pargonsi ini mendapat perlakuan yang khusus. Hal inididukung oleh adanya prinsip stratifikasi yang berhubungan dengan kedudukan pargonsi berdasarkan pangkat dan jabatan. Sikap khusus yang diberikan masyarakat kepada pargonsi itu disebabkan karena seorang pargonsi selain memiliki ketrampilan teknis, mendapat sabala dari Mulajadi Na Bolon, juga mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat/sendi-sendi peradaban). Maka dari itu, pargonsi mendapat sebutan Batara Guru Hundul (artinya : Dewa Batara Guru yang duduk) untuk pemain taganing dan Batara Guru Manguntar untuk pemain sarune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan Dewa dan mendapat perlakuan istimewa, baik dari pihak yang mengundang pargonsi maupun dari pihak yang terlibat dalam upacara tersebut. Dengan perantaraan merekalah, melalui suara gondang (keseluruhan instrumen), dapat disampaikan segala permohonan dan puji-pujian kepada Mulajadi Na Bolon (Yang Maha Esa) dan dewa-dewa bawahannya yang mempunyai hak otonomi.

Posisi pargonsi tampak pada saat hendak diadakannya horja (upacara pesta) yang menyertakan gondang sabangunan untuk mengiringi jalannya upacara. Pihak yang berkepentingan dalam upacara akan mengundang pargonsi dan menemui mereka dengan permohonan penuh hormat, yang disertai napuran tiar (sirih) diletakkan di atas piring.

Pada saat upacara berlangsung, pargonsi akan dilayani dengan hormat, seperti ketika suatu kelompok orang yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu ingin menari, maka mereka akan meminta gondang kepada pargonsi dengan menyerukan sebutan yang menyanjung dan terhormat, yaitu : “Ale Amang panggual pargonsi, Batara Guru Humundul, Batar Guru Manguntar, Na sinungkun botari na ni alapan arian, Parindahan na suksuk, parlompaan na tabo, Paraluaon na tingkos, paratarias na malo”. Artinya: “Yang terhormat para pemain musik, Batara Guru Humundul, Batara Guru Manguntar. Yang ditanya sore hari dan dijemput sore hari penikmat nasi yang empuk, penikmat lauk yang lezat. Penyampai pesan yang jujur, pemikir yang cerdas. Untaian kalimat di atas menunjukkan makna dari suatu sikap yang menganggap bahwa pargonsi itu setaraf dengan Dewa. Mereka harus selalu disuguhi dengan makanan yang empuk dan lezat, harus dijemput dan diantar kembali bila pergi ke suatu tempat dan mereka itu dianggap mempunyai fikiran yang jujur dan cerdas sehingga dapat menjadi perantara untuk menghubungkan dengan Mulajadi Na bolon.

Akan tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, penghargaan kepada pargonsi sudah berubah. Hal ini disebabkan kehadiran musik (suatu sebutan dari masyarakat Batak Toba untuk kelompok brass band) yang menggantikan kedudukan gondang sabangunan sebagai pengiring upacara. Apabila pihak yang terlibat dalam upacara meminta sebuah repertoar, mereka akan menyebut pargonsi kepada dirigen atau pimpinan kelompok musik tersebut. Walaupun kedudukan kelompok musik sama dengan gondang sabangunan dengan menyebut “pargonsi” kepada pemain musik, namun musisi tersebut tidak dapat dianggap sebagai Batara Guru Humundul ataupun Batara Guru Manguntar.

Sikap hormat yang diberikan masyarakat kepada pargonsi bukanlah suatu sikap yang permanen (tetap), tetapi hanya dalam konteks upacara. Di luar konteks upacara, sebutan dan sikap hormat tersebut akan hilang dan pargonsi akan mempunyai kedudukan seperti anggota masyarakat lainnya, ada yang hidup sebagai petani, pedagang, nelayan dan sebagainya.

Sejalan dengan uraian di atas, ada beberapa penulis Batak Toba yang menerangkan sebutan untuk masing-masing instrumen dalam gondang sabangunan. Seperti pasariboe (1938) menuliskan sebagai berikut : oloan bernama simaremare, pangalusi bernama situri-turi, panonggahi bernama situhur tolong, doal bernama sisunggul madam, taganing bernama silima hapusan, gordang bernama sialton sijarungjung dan odap bernama siambaroba. Penulis Batak Toba lainnya, pasaribu (1967) menuliskan taganing bernama pisoridandan, gordang bernama sialtong na begu, odap bernama siambaroba, oloan bernama si aek mual, pangalusi bernama sitapi sindar mataniari, panggora bernama situhur, doal bernama diri mengambat dan hesek bernama sigaruan nalomlom.

Nama-nama di atas nama yang diberikan oleh pemilik instrumen musik atau pimpinan komunitas musik yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia dan bukan menunjukkan gambaran mengenai superioritas instrumen tersebut. Nama-nama tersebut biasa saja berbeda pada tiap-tiap daerah. Khusus
untuk instrumen sarune tidak ditemukan adanya sebutan terhadap instrumen itu.

Gondang Bolon dan Gondang Sabangunan adalah sama.

Disana juga dikatakan bahwa Gondang Bolon menjadi denyut jantung, nadi dan nafas bagi orang Batak yang mengadakan berbagai macam upacara seperti:

  • Horja Bius (upacara penolak bala bencana, memohon pasu-pasu Debata (berkah))

  • Mangongkal holi-holi/saring-saring (mangangkat tulang-belulang nenek moyang)

  • Sari matua / saor matua (wafat dan sudah mempunyai keturunan cucu atau buyut atau pun cicit)

Gondang bolon biasa ditampilkan pada upacara memohon kesuburan atau panen raya.

Penghantar mantra-mantra untuk memanggil arwah-arwah para leluhur dan gereja menolaknya berdasarkan efek trance (siar-siaran/kesurupan) yang ditimbulkan gondang itu.

Tujuh repertoar yang member efek mediatif yang mempengaruhi denyut jantung serta kesadaran seseorang.

Ketujuh repertoar Gondang tersebut adalah:

  • Gondang Mula-mula, gondang pembuka yang menyiratkan awal mula turunnya Debata Mula jadi na Bolon di Pusuk Buhit

  • Gondang Somba-somba, sujud kepada Raja-raja Bius dan leluhur

  • Gondang liat-liat, untuk melihat tanda-tanda alam

  • Gondang Simonang-monang, sebagi bentuk pemujaan kepada Batar Guru atau Debata Sori

  • Gondang Parsadaan, sebagi simbol persatuan

  • Gondang Hasahatan, yang bermakna sampainya upacara adat pada penghujung acara, ketika ke-sepakatan adat sudah tercapai dan terpenuhi

  • Gondang Sitio-tio, gondang yang menutup upacara, dengan harapan semua anggota keluarga mendapat kecerahan dan dijauhkan dari mara (bencana = halangan)

Gondang Naposo sering juga disebut Pesta Naposo, namun perbedaannya tidak semua pesta naposo selalu diiringi dengan gondang. Ada pesta naposo dilakukan saat akan dilakukan perkawinan. Biasanya pesta naposo seperti ini dilakukan sehari sebelum acara pesta pwrkawinan itu. Gondang Naposo adalah sarana membina hubungan generasi muda dan pematangan jiwa kemandirian dan tidak jarang menjadi ajang penemuan jodoh.

Pada dasarnya acara gondang naposo tidak semata-mata urusan naposo saja. Dari tradisi lama, acara seperti ini justru diprakarsai oleh orang tua, dan pembiayaan digalang oleh penduduk setempat. Gondang Naposo biasanya dilakukan saat bulan purnama setelah usai upacara Asean Taon. Mangase taon biasanya setelah panen raya. Asean taon merupakan “hari raya” besar bagi orang Batak tempo dulu. Di berbagai daerah ada yang benyebut Pesta Bius, pasahat Horbo Bius, Patasumangot, dll menurut kebiasaan penyebutannya.

Inilah acara mamuhai gondang atau “mambuat tua ni gondang” Pargonsi memainkan gondang sipitulili tanpa ada yang menari. Setelah itu para orangtua bersama naposo “hasuhuton” menari bersama. Setelah mambuat tua ni gondang selesai, acara diserahkan sepenuhnya kepada Naposo. Selama acara berlangsung, para orang tua tetap melakukan pemantauan, agar tidak melenceng dari aturan etika kesopanan dan ketertiban.

Minimal acara gondang naposo dilaksanakan 2 hari. Hari pertama acara gondang ini dimulai sejak sore hari. Semua naposo “hasuhuton” menari sepuasnya disini dan kadang mengajak para orang tua menari bersama. Disini kesempatan khusus memberi berkat kepada anak-anak mereka, bergembira menari dengan tata kesopanan yang sudah baku. Mereka dimatangkan “manortor” yang baik, “maminta” gondang yang runtut. Hari kedua adalah pagi hari, memberi kesempatan kepada naposo “mamuhai” memulai acara tortor bagi mereka dan dilanjutkan kepada para undangan hingga siang dan sore.

Para undangan umumnya dari naposo tetangga “huta” dan luat yang lebih jauh. Luat yang lebih jauh umumnya yang ada hubungan kekerabatan dengan klan “hasuhuton” itu. Misalnya generesi muda dari klan “bona ni ari, boru natuatua” dan yang berkaitan dengan persaudaraan klan itu.

Setiap rombongan undangan memenuhi panggilan “manortor” selalu membawa persembahan kepada naposo hasuhuton yang disebut “santisanti” berupa uang yang dimasukkan dalam “tandok” kecil, atau dengan diletakkan diatas “pinggan” berisi beras. Naposo hasuhuton menyambutnya dengan tarian hingga lokasi menari. Santisanti diberikan dengan tarian oleh yang pandai menari, dan pihak naposo hasuhuton juga mempersiapkan sambutan dengan penari pilihan juga.

Bila naposo dari pihak bona ni ari atau “tulang” mempersilahkan para “iboto” mereka menari, bahwa itu pertanda kepada naposo “baoa” laki-laki dari hasuhuton untuk melirik, mengajak menari. Gaya menari naposo yang menarik dan mendapat sambutan biasanya dilanjutkan dengan tari kedua. Disini langkah pematangan pemberian sinyal apakah saling menyukai. Dari tarian itu dapat dilihat yang menerima dan yang menolak. Bila diterima, maka sang pria menyematkan daun beringin di kepala “paribannya” itu. Begitu pula sebaliknya, pihak naposo hasuhuton akan memberikan kesempatan kepada para “iboto” mereka menari. Ini pemberian kesempatan kepada naposo pria dari klan “boru natua tua” atau amang boru untuk melampiaskan hasrat kasihnya kepada paribannya dengan gaya tarian yang memukau dan menaklukkan.

Bila kasih terjalin, cinta tersambung, maka pihak orang tua yang terus mengamati akan mencatatkan dalam agenda mereka dan melakukan penelusuran lanjutan. Para orang tua tidak bisa membiarkan kisah itu berjalan sendiri dan itu menjadi tanggungjawab yang harus diahkiri baik atau buruk. Peristiwa seperti ini juga dapat terjadi pada saat pesat “turun” Sebuah upacara pemakaman kembali tulang belulang ke “batu napir” dalam tradisi batak lama.

Bila upacara selesai sampai sore hari kedua, maka kembali kepada orangtua “hasuhuton” untuk menutup acara. Mereka adalah “sihorus nagurgur siambai nalonga” memenuhi yang kurang memaafkan yang berlebih dari semua acara yang dilakukan naposo tadi.

Kemampuan berstruktur, kematangan jiwa, ekspresi batin, lobby, diplomasi, kepemimpinan, dan pemupukan persaudaraan sejati tertempa melalui gondang naposo yang mengacu kepada kearifan leluhur. Dan itu sudah dilakukan sejak lama, konon lama sudah ditinggalkan.

Perlu ditambahkan bahwa dalam suatu pelaksanaan ritual lama pada umumnya hanya melibatkan orangtua meskipun ada diberi kesempatan muda-mudi berpartisipasi dengan acara Gondang Naposo. Pelaksanaan upacara bisa berhari-hari, mungkin tujuh hari. Ditengah-tengah waktu senggangnya para pemuda juga berlatih semacam ensembel disebut ‘uning-uningan’. Uning-uningan bukan termasuk ensembel untuk ritual tetapi lebih bersifat hiburan. Meskipun demikian dalam perkembangan selanjutnya disebut juga gondang yaitu Gondang Hasapi. Hasapi adalah kecapi yang memainkan melodi dalam uning-uningan. Tangga nada yang dipakai dalam musik gondang hasapi hampir sama dengan yang dipakai dalam gondang sabangunan, tetapi lebih seperti tangga nada diatonis mayor yang dipakai di Barat. Ini karena pengaruh musik gereja Kristen.

Sebagian besar repertoar gondang sabangunan juga dimainkan dalam konteks ensambel gondang hasapi. Ensambel ini terdiri dari hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melodi ambil peran taganing dalam ensambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar, seperti sulim dze dari Cina), sarune etek (sejenis klarinet yang ambil peran sarune bolon dalam ansambel ini), dan hesek (sejenis alat perkusi yang menguatkan irama, biasanya botol yang dipukul dengan sebuah sendok atau pisau).

Namun pada umumnya, ensembel uning-uningan (gondang hasapi) terdiri dari alat musik :

1. Hasapi (kecapi).
2. Sarune getep (alat musik tiup dari kayu, lebih pendek dari sarune).
3. Sulim (suling).
4. Garantung (alat musik pukul dari beberapa kayu berbentuk pipih).
5. Tulila.
6. Hesek.
7. Dll.













Gondang Batak Dan Pemahamannya

Berikut adalah macam-macam gondang batak sekaligus makna yang terkandung di dalamnya.

  • MULA MULA

Tangan do botohon, ujungna jarijari,
Jarijari sampulu marsiganjangganjangi.
Jonjong hami dison, jumolo marsantabi,
Santabi di amanta raja, santabi di inanta soripada.

On pe nuang amang parogung oloan, panggora sungkot di langit, parsoara tandos tu tano, pargonsi sitombus dolok, parpanangar na gok di rura, partaganing parunung-unung, parsarune parende-ende, partarias namalo.

Alualuhon ma jolo tu Ompunta Mulajadi, Sitompa Hasiangan, Sigomgom Parluhutan, Silehon Aek Na Tio, asa tangkas na di banua.

Alualuhon ma muse tu sahala ni amanta raja, raja na hot di adat, raja na ingot di umum, sitiop parpatihon dohot sitiop hatian.

Alualuhon ma muse tu badia ni inanta soripada mulia, ina parorot, ina batak mardinding, ina batak marparapara.

Ia nunga dialualuhon hamuna i, amang pargonsinami,
Gorga ni jabu ruma, binuat batu hula.
Manortor hami nuaeng dison, bahen hamu ma jolo Gondang Mulamula.

Semula Dia sudah ada, dan Dia memulai ada. Ada dunia, jagad raya beserta isinya, Ada bumi dengan manusia bersama mahluk pendampingnya. Dia Mula Jadi, Mula Tempah, mula dari segala sesuatunya yang semuanya harus tunduk kepadaNya.

(Gondang ini umumnya dimainkan saat mengawali acara “mamuhai ulaon” oleh hasuhuton. Sebelum “hasuhuton meminta Mula-Mula, pargonsi lebih dulu memainkan uantaian 7 gondang secara medley yang disebut “sipitulili”)

  • MULA MULA II

Dia diberi anugerah oleh Mula Jadi. Dia diberi kewenangan mengelola bumi untuk pemenuhan kalangsungan hidupnya. Dia memulai karya dan usaha. Dia yang pintar menuturkan sembah “Deak Marujar”. Dia yang pintar menuturkan ilmu pengetahuan “Deak boto-botoan”. Dia yang pertama menghadapi tantangan, kegelisahan, tangis dan gembira. Dia mengajarkan cinta sesama. Dia yang pertama memohon ampun kepada penciptanya. Dia yang pertama menuturkan sembah sujud kepada yang empu-nya, Mula Jadi yang maha besar.

(Deak Parujar adalah Dewi pertama yang menjadi manusia pertama menghuni bumi, begitulah kepercayaan batak dulunya. Dialah yang memohon dan mengkreasi planet earth ini diantara planet-planet yang sudah ada menjadi huniannya setelah memutuskan mmenisah diri dari dunia dewata. Dia adalah memulai selanjutnya untuk kreasi hidup di planet yang dihuni manusia ini)

  • SIHARUNGGUAN

Jadilah manusia yang dicinta, pintar, bijak dan bestari. Yang memberi pencerahan hingga didekati, yang memberi kehidupan hingga ditemani. Yang memberi tuntunan hingga diikuti. Yang melakukan pembelaan dengan keadilan hingga percayai. Dibelakang, dia ditunggu, didepan dia dikejar, ditengan dia dikerumuni.

(Harungguan, adalah tempat berkumpul. Pekan disebut juga harungguan. Siharungguan artinya yang dikerumuni. Ini merupakan idealismenya pemimpin batak)



  • SIDABU PETEK

Demokrasi baru muncul di tanah batak. Pemimpin yang dulunya muncul berdasarkan karakter harajaon, pemimpin alam, berobah dengan menjagokan diri dan siap untuk dilakukan voting.

Petek, merupakan koin suara yang dimasukkan kedalam kotak suara dan selanjutnya dihitung. Mulai muncul rasa cemas, menang atau kalah. Butuh kesiapan mental, menerima kedua resiko.

Kalah, harus diterima menjadi kewajaran, walau tidak dapat dipungkiri akan muncul rasa kecewa. Hanya yang berjiwa besar yang dapat menerima kekalahan dan mengakui kemenangan kepada saingannya.

(Berdasarkan pengalaman Panuhari, seorang pargonsi yang ikut pemilihan kepala kampung di salah satu wilayah di Samosir. Dia menggambarkan gejolak antara semangat dan kecemasan mengawali penyertaannya. Fakta, dia harus menerima kekalahan dengan berlapang dada walau diawali dengan rasa kecewa.)

  • SIBUNGKA PINGKIRAN

Kegagalan akan menimbulkan kekecewaan. Kehilangan akan menimbulkan kesedihan. Larut dalam duka akan menenggelamkan semangat perjuangan.

Selagi masih dapat berpikir, mari memulai. Selagi masih memiliki kaki, mari berdiri. Ayunkan selangkah hingga kamu dapat berlari.

(Sibungka Pingkiran, adalah mengajak manusia untuk tidak tenggelam dalam kegagalan. Mengajak bergerak dinamis dengan mengutamakan kecerdasan, mampu menganalisa dan tepat membuat keputusan.)



  • HOTANG MULAKULAK

Hidup adalah perjalanan. Ke depan adalah tujuan. Namun dalam menempuh perjalanan itu tak pelak kadang harus melewati awal keberangkatan, meninggalkan, berkeliling. Tanpa disadari, tanpa dilakukan penghitungan, manusia sudah melakukan perjalanan menuju kedepan namun berulang melintasi titik keberangkatan.

(Hotang, adalah rotan yang tumbuh menjalar melalui tanah, ranting pohon lain, membelit berkeliling hingga melilit batang awalnya. Perjalanan jauh kemungkinan besar akan kembali ke asalanya. Hati yang menjauh juga diharapkan akan kembali kepada untaian kasih yang sempat tertinggal dan terabaikan)

  • ALIT-ALIT

Hidup bagaikan melintasi hutan belantara. Setiap persimpangan harus diingat dan dibuat tanda arah ke tujuan yang akan dicapai. Kelengahan membaca dan mengingat pertanda menentukan arah akan menyesatkan perjalanan, menghabiskan waktu dan melelahkan.

(Alit-alit, diciptakan Aman Jabatan seorang pargonsi dari Samosir berdasarkan pengalamannya yang tersesat dalam perjalanan. Yang seogianya ditempuh dalam 2 jam, dia tersesat selama satu hari.)

  • BINTANG SIPARIAMA

Bintang Sipariama sudah muncul. Masa panen pun menjelang. Semangat semakin bergelora, dibarengi kesibukan berbagai persiapan. Kebersamaan pun digalang untuk melakukan panen bersama, “siadap ari” bergantian memetik padi. Tidak ada guna rebutan jadwal, karena kematangan padi yang menentukan. Kegentingan hidup selama “haleon” pacekelik mencair, seraya mengucap syukur kepada Maha Kasih.

(Bintang Pari, adalah pertanda dalam hitungan bulan batak “sipahatolu”. Pada saat itu musim panen mulai marak di Toba. Bila tidak memiliki hasil panen pada bulan ini disebutkan kelaparan di musim panen “anturaparon di sipahatolu, atau anturaparon di sipariama. Biasanya dilontarkan kepada yang malas bekerja dan selalu mengemis menyambung hidup.)

  • BINTANG NAPURASA

Gemerlap cahaya bintang napurasa akan memerikan keindahan dalam hiasan langit malam. Gemerlap bintang adalah kodratnya yang hanya bisa dilihat di saat kelam. Gemerlap Bintang Napurasa tidak abadi setiap malam. Bila gemerlap datang dan menghilang ingatlah kepada bintang dilangit. Tak selamanya keinginan menjadi kebutuhan. Tak selamanya kebutuhan diukur dengan gemerlap.

(Bintang Napurasa adalah yang nampah jelas menjelang pagi hari. Kecemerlangan seseorang diibaratkan seperti bintang bersinar terang. Kecemerlangan adalah idaman setiap orang, namun ada sebagian masih dalam harapan sehingga lebih sering menjadi pengagum kecemerlangan orang lain)

  • HATA SO PISIK

Memikul muatan berat, bila lelah, istirahat adalah kesempatan pemulihan tenaga. Bila beban itu ada dalam pemikiran, adalah mustahil dapat diringankan dengan istirahat fisik, karena akan selalu muncul tak beraturan menjadi beban dalam pemikiran.

Seorang pemimpin kadang harus menyimpan rahasia yang tidak dipublikasikan kepada masyarakat untuk mencegah konflik.

(Gondang ini terinspirasi oleh Sisingamangaraja I ketika menerima amanah dari Raja Uti untuk tidak menyebutkan wujud fisik beliau. Tanda dari perjanjian itu kepada Sisingamangaraja I diberi tabutabu siratapullang, sian i ro tusi sumuang molo diose padan. Di tengah perjalanan saat Sisingamangaraja istirahat, beliau terkenang dan dalam hati menyebut wujud dari raja Uti. Beliau terkejut, dan tabutabu sitarapullang pun menghilang. Gondang ini lajim dipinta oleh para Raja untuk mengenang beban tugas mereka dan banyaknya rahasia yang harus dipendam namun harus diselesaikan dengan bijaksana. Irama gondang ini sangat beda dengan gondang “Marhusip” yang sering disebut selama ini Hata So Pisik.)

  • ALING-ALING SAHALA

Para Raja di kalangan Batak tempo dulu sangat menjaga etika moral, hukum dan adat istiadat. Kapasitasnya dalam menegakkan kebenaran di masyarakat adalah wujud dari kehormatan (hasangapon) dan menjunjung kewibawaan (sahala) pada diri mereka.

Bila nilai tak dapat dipertahankan maka “sahala” (karisma) akan ambruk. Ibarat tanduk yang tercabut dari kepala. Penyesalan tiada guna.

Para Raja Batak dulu mengalami degradasi dengan masuknya peradaban modern melalui penjajahan dan missi agama. Kewibawaan mereka dicabut, perilaku mereka dipandang sesat. Keturunan mereka satu persatu mulai menjauh.

Duka dihatinya tak ditangiskan. Keterpurukan wibawanya bukan karena kesalahan. Sahala mereka mulai menjauh. Mereka berseru melalui gerakan tari diiringi irama; “Mengapa ini harus terjadi?.

(Aling-aling Sahala, diartikan sebagai mengenang/memanggil kembali karisma diri mereka yang hilang dan permohonan maaf kepada Pencipta yang memberikan derajat kehormatan itu (dulu) kepada mereka.)

  • RAMBU PINUNGU

Kehidupan penuh dengan keanekaragaman. Manusia memiliki pahala masing-masing dan sifat berbeda dalam menjalankan kehidupannya. Bagi seorang pemimpin adalah pekerjaan penuh kecermatan dalam mempersatukan masing-masing perbedaan karakter manusia. Mereka butuh kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan untuk mampu mengemban tugas mulia, mempersatukan derap langkah masyarakat dalam kedamaian, kerukunan dan ketaatan dalam hukum.

(Rambu, adalah untaian pada ujung ulos. Pinungu, artinya dihimpun. Para raja dikalangan batak biasanya menggunakan “talitali” ikat kepala lambang kebesaran yang disebut “tumtuman”. Dari kain hitam yang kedua diujungnya ada rambu warna merah.)

  • BINDU MATOGA

Aku tanpa kamu tidak berarti. Kamu tanpa aku apakah ada arti? Kamu, aku dan dia adalah kita. Kita bersama memadu pikir demi kepentingan kita dan mereka. Hidup kita bangun, semangat kita galang, setiap sisi kita hempang dari serangan. Selamatkan jiwa dari tindakan buruk orang yang tidak sejalan. Lindungi diri dari serangan penyakit yang membahayakan. Lakukan kajian dimana sisi lemah yang dapat menghancurkan.

Kita adalah sama. Karena bersama kita tegar “toga”. Dalan semua sudut, sisi, waktu, kita catat dalam “bindu” halaman kerja, apa yang sudah kita buat dan apa yang masih perlu dilakukan tindakan. Semua demi keutuhan dan kebersamaan.

(Bindu Matoga. Digambarkan dengan garis segi empat bertajuk delapan sesuai dengan mata angin. Digambarkan sebagai penguasaan semua system alam dengan mencegah hal buruk yang dapat merusak keutuhan dan kesehatan. Nujum bindu matoga sering dilakukan peramal untuk mengetahui dari mana kemungkinan datangnya musuh, penyakit apa yang mungkin muncul. Tindakan apa yang harus dilakukan mengatasi masalah demi kesejahteraan masyarakat.)

  • SIDOLI NATIHAL

Masa muda bagi seorang pria penuh dengan gairah. Mulai memasuki area kompetisi menunjukkan eksistensi seorang perjaka. Mereka berekspresi penuh dengan tingkah polah untuk mendapat perhatian publik dan lawan jenisnya. Dengan dorongan sifat dinamis untuk mendapat pengakuan. Kadang, mereka salah dalam tingkah laku kemudaannya.

(Biasanya diperdengarkan saat Gondang Naposo dimana para pria menari menunjukkan kebolehannya penuh dengan gaya.)

  • TANDUK NI HORBO PAUNG

Seseorang yang memiliki kehormatan, adalah yang memegang teguh etika moral dan taat hukum. Dia terkontrol oleh penghormatan kepada dirinya itu dalam semua sikap dan perilakunya. Rambu ini membatasi kebebasan dirinya dalam setiap kesempatan, ibarat kerbau yang bertanduk panjang menjalani lorong sempit. Lolos dalam perjalanan yang penuh tantangan dan godaan adalah kemenangan baginya.

(Nama gondang ini dulunya disebut juga PARDALAN NI HORBO SISAPANG NAUALU. Seekor kerbau yang bentang tanduknya panjang sekitar satu meter. Lorong sempit yang disebut balubu atau bahal adalah lintasan segala ternak ke perkampungan. Kerbau itu kadang kesulitan akibat sempitnya lorong atau adanya dahan yang menjorok ke bahal.)

  • LILIT TU METER

Kecerdasan dan intelektual Batak sudah teruji sejak jaman dahulu kala. Pertanda dari kecerdasan mereka itu dapat kita lihat dengan bangunan rumah adat, gorga dan ulos. Mereka melakukan pengukuran dengan istilah “suhat” untuk panjang dan tinggi “lilit” untuk mengukur lingkaran.

Dengan datangnya alat ukur “meter” mereka semakin terbekali dan mendapatkan keseragaman ukuran. Ketika meter kayu digunakan, mereka kebingungan saat mengukur diameter karena tidak dapat melilit seperti kebiasaan mereka. Hingga mereka melakukan ukuran kepada tali kemudian mereka melakukan pengukuran dengan melilit.

Apa yang mereka hasilkan hanya dengan pengukuran “suhat” dan “lilit”? Apa perbedaan setelah menggunakan meter? Semua konstruksi, petakan sawah, saluran irigasi, planologi perkampungan yang mereka ciptakan sebelum mengenal meter saat ini masih abadi.

(Pendidikan modern hanya penambahan bekal intelektual mereka. Ini membuktikan bahwa mereka mampu beradaptasi dengan perkembangan tanpa harus menyebut mereka “bodoh, tertinggal, primitive” sebelum pendidikan formal hadir.)

  • TUKTUK HOLING

Beragam lambang kebanggaan manusia sejak muda hingga tua. Orang tua batak biasanya makan sirih. Bila gigi sudah makin lemah hati mengeluh, mereka butuh alat penumbuk sirih. Alat penumbuk dikenal setelah datangnya logam yang dibuat khusus menumbuk sirih. Kadang alat penumbuk itu dibuat beragam variasi yang indah dengan material tembaga dan perak. Ada juga yang menempahkan dengan lilitan penghias dari emas. Mereka membanggakan peralatan itu layaknya seperti perhiasan.

Alat penumbuknya dibuat dari besi tembaga keras yang kelak menghentak keras bagaikan patukan burung berparuh besi.

(Tutuk Holing, adalah nama burung yang berparuh keras yang dapat melobangi batang kayu keras untuk membuat sarang dan dan mencari makanan.)

  • PARSOLUBOLON

Hidup adalah perjuangan. Perjuangan tidak luput dari tantangan. Kebersamaan adalah pengumpulan kekuatan. Kesepahaman adalah akselerasi keragaman potensi diri dalam menjalankan misi bersama untuk sampai di tujuan.

(Solubolon, adalah sampan besar yang muat sekitar 12 orang. Parsolubolon adalah mereka yang sedang mengarungi perairan dengan sampan besar itu. Mereka memiliki pedoman dasar “masihilalaan” tenggang rasa. Bila pengendali kemudi tidak pintar, pengayuh akan kewalahan. Sebaliknya bila pengayuh tidak pintar, maka pengayuh lainnya akan kelelahan dan pengemudi akan repot. Akselerasi potensi “parsolubolon” akan mampu menghindari bahaya dari serangan ombak.)

  • SAPADANG NAUSE

Panganan utama orang batak adalah nasi yang terbuat dari beras berasal dari padi. Bila hasil panen mencukupi bekal satu tahun maka kekhawatiran pun sirna. Bila bekal padi tidak mencukupi maka sapadang yang tumbuh liar di ladang pun dipetik.

Tidak ada kata kelaparan bila bijak mengolah hidup. Tidak ada yang hina bila kenyang makan tanpa beras. Ubi dan Sapadang adalah jalan keluar dari kemelut ketersediaan bekal beras yang terbatas.

(Sapadang adalah tumbuhan mirip gandum biasanya tanamn liar. Sapadang Nause adalah bijian yang bernas dan tua yang memberikan semangat bagi yang menemukannya. Sapadang diolah dengan telaten dan dimasak hingga nikmat dimakan sebagai pengganti nasi yang terbuat dari beras. Nause tidak mengandung pengertian “tumpah, berhamburan” tapi “sesak, padat, bernas, keluar dari” dalam kulitnya.)

  • SEKKIAN TALI MERA

Judi kadang membahagiakan, namun lebih banyak berdampak kesusahan. Senang saat permainan dijalankan, tapi kerugian bila menuai kekalahan. Mereka menghayal akan menang, mengharap mendapat giliran “ceki” penentu kemenangan. Bila kartu penentu warna merah muncul, hentakan kegembiraan muncul.

Pengalaman para penjudi selalu menyimpulkan, lebih besar kesusahan daripada kebahagiaan dari permainan judi. Badan tersiksa, pekerjaan terlantar, harta benda tergadai.

(Bedasarkan pengalaman penjudi kalangan masyarakat Batak jaman dulu yang selalu menghimbau agar terhindar dari ketagihan permainan itu dan bekerja dengan giat adalah yang terbaik.)
















Tokoh Kesenian Gondang Batak


Nama: AWK Samosir
Nama Asli: Kasmin Samosir
Nama Lengkap: Abdul Wahab Kasim Samosir
Lahir: Onanrunggu, Pulau Samosir, 17 Agustus 1928
Karir: Pimpinan Opera Batak Tilhang Serindo, Penata tortor dan Gondang Batak

Hampir seluruh hidupnya untuk gondang, uning-uningan, tortor, dan opera Batak. Ia adalah murid almarhum Tilhang Oberlin Gultom (pendiri opera Batak akhir tahun 1920-an). Ia amat gelisah atas perkembangan kesenian Batak dewasa ini. Sebab, menurutnya, semua orang Batak sudah menyeleweng dari budayanya. Pada pesta-pesta perkawinan, band lebih selalu ditanggap ketimbang gondang termasuk saat mangulosi (menyampirkan ulos kepada pengantin dan kerabatnya).

Di tahun 1970 hingga 1980-an, wajah AWK Samosir kerap terlihat di TVRI. Jarinya memetik kecapi di tengah gondang atau uning-uningan Toba. Tahunan ia menata dan mengisi tayangan tortor dan opera Batak di situ. Di tahun 1990-an sesekali ia mengiringi nyanyian dan tari Batak, bersama regu band Tarida Pandjaitan Hutahuruk, dalam program Horas di televisi swasta. Ia mudah dikenali dalam sorotan kamera, sebab pada usia tujuh puluhan, rambut putihnya selalu terkuncir.

Murid langsung almarhum Tilhang Oberlin Gultom itu (pendiri opera Batak akhir tahun 1920-an di Tapanuli dan pencipta 360 lagu, 12 tumba, dan 24 judul drama sampai akhir hayatnya tahun 1970) menyatakan bahwa penghargaan pada budaya sendiri pun, orang Batak sekarang sama sekali tak dapat dibanggakan. Kemunafikan sangat jelas. Baptis, sidi, kawin, memasuki rumah, mengucapkan syukur untuk kandungan berusia tujuh bulan, mati, sampai mengumpulkan belulang orang mati diinginkan orang Batak diselenggarakan dengan adat, selain ritual keagamaan.

Lahir di Hutanamora, Onanrunggu, Pulau Samosir, pada 17 Agustus 1928, pria bernama Kasmin ini sudah menyanyi di usia 13 bersama opera keliling pimpinan Tilhang Gultom. Bergabung dengan opera berarti bergaul dengan pemusik, penari, dan pelakon. Dari menyanyi, Samosir belajar tortor, lakon, memetik hasapi, dan meniup sulim. Sebagian ia dapat dari seniornya, sebagian lebih besar justru dari mimpi.

Opera keliling yang terus berganti nama ini-Tilhang, Pantja Ragam Tilhang, Serindo, dan sebagainya membawa Samosir menjelajahi seluruh Sumatera, Jakarta, dan Bandung. Sejak 1970, tahun Tilhang meninggal, Samosir menetap di Jakarta seusai manggung di Bandung atas sponsor pengusaha sayur-mayur Thomas Simanungkalit. Di situ ia memimpin Opera Batak Tilhang Serindo cabang Jakarta, mementaskan turi-turian rakyat dan memainkan musik gondang di Ancol, Taman Ria, TIM, TMII, dan TVRI dari tahun 1977 sampai tahun 1987.

Terlahir sebagai Katolik, ayah tujuh anak ini menganut Islam sejak pernikahan pertamanya tahun 1948. Dia mendapat nama tambahan Abdul Wahab. "Saya masuk ke Parmalim karena inilah agama Batak," kata AWK Samosir yang telah menggubah belasan tortor.










Gondang Batak masa kini

Gambar 5. Penampilan musik tradisi gondang batak, 2008

Migrasi batak ke kota mulai di tahun 1910 tapi hanya setelah Indonesia merdeka migrasi tersebut tambah besar di tahun 50-an. Migrasi ke kota menyebabkan interaksi dengan suku lain di kota-kota Indonesia yang penduduknya sebagian besar beragama Islam. Dalam lingkungan multi etnis ini banyak orang batak bertemu rasa identitas batak yang menjadi lebih kuat terhadap suku lain. Tetapi banyak orang batak pula dalam proses menyatukan diri dengan masyarakat Indonesia sehingga meninggalkan banyak aspek bahasanya, kebudayaannya, dan tradisinya. Disisi lain ada sebagian orang batak kota yang menjadi lebih sadar tentang kepentingan identitas masyarakat batak dan berusaha untuk menegaskan rasa batak dan memberikan dana untuk upacara tugu dan perayaan lain di desanya.

Ada orang batak kota yang sudah menjadi makmur yang sering membiayai upacara. Mereka membawa estetis kosmopolitan yang adakalanya melawan estetis tradisi. Identifikasi dengan nilai-nilai mengenai kemoderenan, kemajuan, pendidikan dan kemakmuran sering diekspresikan dengan afinitas kepada apa yang dianggap modern. Misalnya sekarang di pesta atau upacara seolah-olah musik grup keyboard yang memainkan lagu poco-poco lebih laris dan dihargai daripada dengan musik gondang yang lama punya peran yang sangat penting dalam upacara adat. Pesta kawin yang modern tidak lagi dianggap lengkap tanpa musik keyboard atau musik tiup yang main lagu pop batak atau pop barat, sebaliknya mungkin ensambel musik gondang dianggap kampungan oleh orang kota yang kecenderungan mengindentifikasi dengan modernitas tidaklah salah.

Kita semua harus hidup dalam dunia modern dan harus menghadapi media global dan periklanan, suka atau tidak makin bertambah mempengaruhi pikiran dan selera setiap orang. Kita tidak mampu tinggal di masa dahulu dan melarikan diri dari kemajuan. Tetapi, ada ancaman bahwa dalam generasi ini kita dapat menghilangkan sejenis musik tradisi yang disebut gondang, yang sampai akhir-akhir ini adalah manifestasi kebudayaan batak toba yang sangat penting baik dalam bidang masyarakat maupun bidang rohani.























Perkembangan Gondang Batak di Benua Eropa


Gambar 6. Penampilan gondang batak di Republik Cekoslovakia


Tidak lupa kacang akan kulitnya, begitulah kira-kira kata yang keluar dari benak para mantan penerima beasiswa Indonesia “Darmasiswa” dari 3 (tiga) Negara yakni Slovakia, Hungaria, dan Ceko yang turut mendukung promosi Indonesia melalui acara Pagelaran Budaya Indonesia dan Pameran Foto di Pusat Kebudayaan Fontana, Piestany, Slovakia. Orang asing para lulusan program Darmasiswa, jurusan pendidikan Bahasa Indonesia dan Seni Budaya Indonesia dari berbagai universitas di Indonesia ini, selama ini juga aktif mendukung Promosi Indonesia, sehingga menambah bobot dan meningkatkan citra Indonesia di Negara setempat.

Pagelaran Budaya Indonesia yang diadakan tanggal 6 Mei 2009 lalu, menampilkan banyak jenis tari-tarian Indonesia, seperti dari Bali, Batak, Padang, dan Melayu bersama penari warga Indonesia. Tari ‘Condong’ dan ‘Jauk’ dari Bali dibawakan oleh penari dari Ceko, sementara tari Batak, Padang, dan Melayu ditampilkan oleh penari-penari dan pemain musik warga Indonesia dan Hungaria. Penampilan tari dari tanah Batak, di iringi lagu ‘Tilo-Tilo’, ‘Rege-Rege’, dan ‘Sengko-Sengko’ sangat menarik perhatian pengunjung, karena instrumen bataknya dimainkan dengan musik ‘live’, yaitu Gondang Batak dari sanggar seni KBRI Hungaria. Diujung pagelaran, tari ‘Tor-Tor’ dari Batak mampu menghangatkan suasana ketika Walikota Piestany, Mr. Remo Cicutto, Duta Besar RI Bratislava, Harsha E. Joesoef dan Ibu serta beberapa warga setempat dengan ‘ulos’ diajak turun untuk manortor bersama. Tentulah usaha ini merupakan kebanggaan tersendiri dari warga Parboniaga yang ada di Eropa bahkan di Bonapasogit, karena budayanya bisa selangkah demi selangkah maju, dipublikasikan orang asing.

Dalam Pameran Foto yang berlangsung dari tanggal 6 22 Mei 2009, puluhan warga Slovakia mengabadikan koleksi foto-foto hasil jepretan mereka ketika tinggal dan menjalani pendidikan di Indonesia. Selain itu, peminat fotografi dan penari professional, I Gusti Made Aryantha dari Bali turut menyertakan koleksi foto hasil jepretannya pada pameran itu. Selain menampilkan foto-foto potret kehidupan dan keunikan Budaya berbagai etnik masyarakat Indonesia seperti dari Jawa, Bali, Sulawesi, dan Sumatera, juga menampilkan keindahan panorama alam dan berbagai objek wisata.

Duta Besar RI Bratislava, Harsha E. Joesoef dalam sambutannya, mengatakan bahwa kegiatan ini diharapkan dapat menggugah cita rasa seni, mengintensifkan pengenalan dan kecintaan terhadap keunikan Budaya dan keindahan panorama alam Indonesia. Di fasilitasi KBRI Bratislava, saat ini mantan Darmasiswa warga Slovakia akan mendirikan wadah persahabatan Indonesia dengan friends of Indonesia yang diharapkan akan dapat lebih mendukung promosi Indonesia di Slovakia.












KESIMPULAN

Beberapa hal yang dapat disimpulkan mengenai kesenian Gondang Batak, yaitu: pertama, budaya (seni) tidak selalu diteruskan atau diturunkan secara langsung namun juga dapat diteruskan secara tidak langsung kepada para penerusnya.

Kedua, seni dengan fungsi rekreatifnya hanya digunakan untuk menginterpretasikan, memahami, dan menikmati hidup manusia bukan sebagai mata pencaharian.

Ketiga, penyebaran musik Gondang Batak disertai terjadinya akulturasi dengan budaya lokal, menyebabkan banyaknya ragam musik Gondang Batak yang ada di daerah-daerah, salah satunya yaitu bentuk kolaborasi musik Gondang Batak Tradisional dengan musik modern.

Keempat, tidak adanya regenerasi merupakan akhir dari sebuah seni apalagi berkembang, sehingga regenerasi kesenian itu tetap perlu dengan selalu memberi peluang untuk diterima dan dikembangkan.

Kelima, walaupun orang banyak yang berpaling pada musik modem (pop) namun bagaimanapun juga kerinduan untuk tetap menikmati musik Gondang Batak Tradisional masih sangat kuat, bagaimanapun juga musik Gondang Batak tetap mendarah daging bagi mereka orang Batak dimanapun mereka berada, karena musik Gondang Batak adalah salah satu sarana penunjuk identitas mereka.

Keenam, musik Gondang Batak dapat dikatakan sebagai wadah untuk menampung berbagai kepentingan (adat dan agama) komunitasnya untuk mendapat dukungan dari kaum elite Batak urban di ibukota, yang mempunyai misi pelestarian budaya nenek moyang dengan sifat terbuka terhadap arus perubahan secara adaptif, mampu mengaktualisasikan nilai-nilai di era globalisasi, serta telah mendapat pengakuan sebagai label corong budaya.





SARAN

Dibutuhkan langkah mengorganisasikan program untuk mempelajari kebudayaan tradisi batak, khususnya gondang batak. Tujuannya adalah untuk dokumentasi, pelestarian, pendidikan, dan promosi kebudayaan tradisi batak. Bergabung dalam penelitian dan dokumentasi yang sudah dilakukan untuk mengusahakan melawan erosi kebudayaan tradisi yang sangat menonjol, khusus dalam bidang seni. Saya menganjurkan para pembaca memperhatikan seni musik, melihat keprihatinan saya mengenai semua aspek-aspek kebudayaan. Karena tekanan modernisasi, globalisasi, media massa, dan daya tarik dunia barat, kebudayaan tradisi dan khususnya musik gondang terancam hilang. Kehilangan musik gondang yang disebut banyak orang sudah terjadi, tentu saja tragis sekali.

Upacara dan pesta yang dulu berperan sebagai tempat penampilan musik tradisi semakin kurang karena orang lebih suka grup keyboard atau trio vokal yang lebih mencerminkan modernitas dan kejauhan dari semua hal yang disebut kampungan. Musik pop batak yang tentu juga adalah identitas etnis suku batak Toba, biasanya ada musik country dan balada pop tua Amerika yang memakai bahasa batak. Musiknya tidak ada hubungan kuat dengan masyarakat batak, kecuali sesekali sebagai contoh kebudayaan dalam proses perubahan, akan tetapi betapa tragis kalau musik pop batak ini menggantikan musik gondang yang merupakan warisan berharga namun kurang dihargai.

Semakin lama semakin banyak pemain gondang meninggal dunia dan pemain yang lebih muda didorong oleh hal-hal estetis dan ekonomis untuk memainkan musik yang lebih laris. Kemungkinan muncul bahwa musik gondang akan hilang sebahagian besar atau semuanya. Ini tidak boleh diabaikan. Ada kemungkinan besar bahwa gondang hanya akan bertahan hidup dalam konteks agama Parmalim yang masih mempergunakan musik ini dalam konteks aslinya. Mereka menggunakan musik nenek moyangnya untuk menghormati nenek moyang tersebut dan untuk menyampaikan doa kepada Debata Mulajadi Nabolon (Sang Pencipta).

Betapa tragis kalau dalam hidup warisan batak berbentuk musik indah ini, yang mempunyai sejarah sangat lama, berharga, dan sangat unik di dunia, akan punah. Dalam dunia barat masyarakat sudah lama lupa banyak tradisi, dan ada kecenderungan untuk mencari yang sakral dari kebudayaan lain, saya bertemu dengan musik sakral dan luar biasa di Sumatera Utara, tetapi musik ini mungkin akan punah karena masyarakat yang melahirkannya tidak lagi cukup perduli.






















DAFTAR PUSTAKA


Hoetagaloeng, W.M, Poestana Taringot toe Tarombo Ni Bangso Batak, Zending Drukkerij Laguboti.1926.

Silalahi, Ompu G., Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, Penerbit Tarsito. Bandung.1982.

http://dennysitohang.wordpress.com

http://id.wordpress.com

http://manik.web.id

http://mediabolon.com

http://parboniaga.com

http://silaban.net

http://tanobatak.wordpress.com

http://wikipedia.com
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar