Welcome~ :)

Blog ini adalah sekumpulan coretan yang dihimpun pada masa sekolah dan--semoga--masa kuliah. Bila berkenan, tinggalkan komentar berisi saran yang berguna untuk kemajuan blog ini.
Semoga blog ini banyak memberi manfaat :)

Kamis, 08 Maret 2012

SEJARAH PERLAWANAN RAKYAT

Dalam perspektif sejarah yang disebut “perlawanan rakyat” ini termasuk salah satu bentuk dari sebuah gerakan sosial. Dalam kajian sejarahnya, yang disebut sebagai gerakan sosial sebenarnya merupakan gejala umum yang terjadi pada masyarakat petani sebagai gerakan protes terhadap dominasi kekuasaan yang ada. Sejarah gerakan sosial di Indonesia telah mencatat, bahwa selama abad ke 19 hingga awal abad ke 20 secara terus menerus telah terjadi pergolakan petani seperti pemberontakan, kerusuhan, huru-hara, kegaduhan, dan sejenisnya, yang sempat menggoncangkan tatanan masyarakat dan pemerintahan kolonial, terutama kolonial Belanda.


Secara umum gerakan-gerakan sosial sebagai suatu protes merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Di wilayah Bengkulu, setidaknya telah terjadi secara menyolok dua kali peristiwa perlawanan rakyat selama masa pemerintahan kolonial Inggris (1685-1825). Perlawanan rakyat terhadap pemerintah koloni Inggris (EIC) yang pertama terjadi pada tanggal 23 Maret 1719, dan yang kedua kalinya terjadi pada bulan Desember 1807 yang dikenal dengan peristiwa Mount Felix (27 Desember 1807).


Sementara pada masa penjajahan Belanda di sepanjang abad ke 19, setidaknya ada tiga peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah perlawanan rakyat Bengkulu, yaitu peristiwa 1833, peristiwa 1835, dan peristiwa 1873.


Peristiwa Attact Fort Marlborough (1719).
Jauh sebelum peristiwa penyerbuan rakyat Bengkulu ke Fort Marlborough pada tanggal 23 Maret 1719, ketegangan sosial telah terjadi antara para penguasa pribumi Bengkulu, khususnya rakyat Selebar. Ketegangan hubungan antara pihak Inggris dengan Pangeran Ingallo (Jenggalu?) – alias Pangeran Nata Diradja penguasa dari Selebar, berawal dari hubungan kontrak – perjanjian dagang. Pihak Inggris tidak senang bahkan merasa dirugikan karena Pangeran Selebar masih menjalin hubungan dagang dengan pihak Belanda. Disinyalir, rakyat Selebar serta anak keturunannya Pangeran Nata Diradja menaruh dendam atas kematian Pangeran Selebar yang diduga dibunuh oleh Inggris di Fort York pada tanggal 4 Nopember 1710.
Puncaknya ketegangannya, pada malam hari tanggal 23 Maret 1719, Fort Marlborough diserbu sekitar 80 orang yang sebagian besar diperkirakan dari suku Lembak dan Selebar – yang mengakibatkan orang-orang Inggris melarikan diri ke Batavia dan Madras. Tokoh yang diduga kuat sebagai pemimpin penyerbuan Fort Marlborough itu antara lain : Pangeran Mangkuradja dari Sungai Lemau, Pangeran Intan Ali dari Selebar, Pangeran Sungai Itam, dan juga Syed Ibrahim (Siddy Ibrahim ) yang disebutkan sebagai seorang ulama besar yang punya pengaruh pada masyarakat di pegunungan.


Peristiwa Mount Felix (1807).
Mount Felix adalah sebuah nama yang diberikan oleh orang Inggris untuk menyebut sebuah kawasan perbukitan yang terletak di sebelah utara, sekitar 25 Km dari pusat kota Bengkulu. Sementara masyarakat pribumi menyebutnya sebagai Bukit Palik.


Ketegangan sosial yang terjadi selama masa pemerintahan Walter Ewer (1800-1805) tampaknya terus berkelanjutan hingga masa penggantinya, yaitu Thomas Parr. Residen Inggris ini hanya memerintah di Bengkulu selama dua tahun, yaitu dari tahun 1805-1807, yang berakhir dengan membawa kematiannya secara tragis.


intervensi Thomas Parr terhadap kehidupan tradisional para kepala adat, terutama dalam hal peradilan pribumi, sering dilakukan tanpa meminta persetujuan dari para kepala adat. Dengan demikian, tampak semakin kompleks ketegangan-ketegangan sosial selama masa pemerintahan Thomas Parr.


Puncak dari segala ketegangan sosial itu pada akhirnya meletus pada tanggal 27 Desember 1807. Thomas Parr dibunuh pada tanggal 27 Desember 1807 di kedimanannya di Mount Felix, yang berlokasi sekitar 3 Mil sepanjang garis pantai dari Fort Marlborough.


Menurut sebuah sumber, Thomas Parr dimakamkam di daerah tertutup di Fort Marlborough, dengan pertimbangan, untuk menghindari perasaan penduduk lokal, dan juga dikawatirkan akan digali dan dinajiskan (dikutuk) oleh penduduk lokal. Demikian juga dengan makam Charles Murray, sekretarisnya yang telah berusaha menyelamatkan Mr. Parr, dan meninggal pada tanggal 7 Januari 1808.


Bagi pemerintah kolonial Inggris, bagaimana pun juga Thomas Parr tetap dianggap sebagai pahlawan karena jasa dan pengabdiannya. Oleh karena itu, pemerintah Inggris kemudian mendirikan sebuah monumen untuk mengenangnya. Monumen tersebut dibangun diatas tanah yang berlokasi tidak jauh dari pusat ibukota Bengkulu (sekitar 150 kaki) dari Fort Marlborough. Monumen yang didirikan tanggal 7 Januari 1808 itu, terdapat prasasti (memori) yang berkaitan dengan peristiwa Mount Felix. Orang-orang Inggris menyebut dengan nama Parr Monument, sedangkan kelompok elite pribumi Bengkulu menyebutnya sebagai Taman Raffles (Raffles Park). Penduduk pribumi Bengkulu itu sendiri lebih akrab menyebutnya sebagai kuburan bulek.


Peristiwa 1833
Selama pemerintahan Asisten Residen J.H. Knoerle (1831-1833), posisi elite pribumi Bengkulu semakin terjepit. Dengan diaktifkannya para pegawai Eropa yang menduduki posisi sebagai posthouder, maka kekuasaan para kepala pribumi di wilayah luar ibukota semakin terbatas karena mendapat kontrol yang ketat. Tekanan dan intervensi terhadap kehidupan tradisional elite pribumi semakin dirasakan terutama yang berkaitan dengan lembaga adat yang sudah mapan.


Penghapusan gelar kepangeranan, penghapusan hak-hak tradisional para kepala pribumi yang sudah mengakar, serta mereformasi sistem pengadilan tradisional yang sudah mapan, jelas merugikan posisi elite pribumi Bengkulu. Menurutnya, pemakaian gelar pangeran bagi para kepala pribumi Bengkulu tidak perlu diteruskan karena tidak ada fungsinya, serta tidak bermanfaat bagi masyarakat, dan pemerintah Belanda, kecuali gelar regent (bupati), bagi mereka yang telah diangkatnya.


Tampaknya, J.H. Knoerle tidak hanya menghapuskan gelar pangeran kepada penggantinya Pangeran Linggang Alam dari Sungai Lemau, tetapi sekaligus juga memotong tunjangan gaji tetapnya dari f. 706 (termasuk pelepasan haknya atas gelanggang adu ayam sebesar F.106) hingga menjadi f. 200 per bulannya. Selanjutnya Francis juga mencatat, bahwa semenjak meninggalnya Pangeran Khalipah Ajah (Khalipa Raja) dari Sungai Itam pada bulan September 1829, kekuasaannya sementara dibebankan kepada kedua anak laki-lakinya, sampai keduanya menentukan sendiri siapa di antaranya yang berhak menggantikannya.


Demikian halnya dengan Pangeran Sungai Lemau. Tunjangan gaji Pangeran Sungai Lemau juga disunatnya. Gajinya yang semula f. 400 per bulan dipotong hingga menjadi f. 140 per bulan. Sementara itu, gaji para kepala distrik, seperti Kepala Distrik Andalas Sungai Keruh, Kepala Distrik Lima Buah Badak, dan Kepala Distrik Sillebar, hanya mendapatkan gaji sebesar f. 40 per bulan. Kecuali Kepala Distrik Lais, yaitu : Raden Muhammad Zein masih mendapat tunjangan gaji sebesar f. 100 per bulannya. Demikian pula dengan penghulu (kepala) orang asing, yaitu daeng Mabella, yang semula menerima tunjangan bulanan sebesar f. 600, kemudian dipotong hingga menjadi f. 150 per bulan. Akan tetapi setelah Daeng Mabella meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 7 Agustus 1832, jabatan penghulu orang asing ini dibiarkan kosong dengan alasan, Daeng Mabella tidak mempunyai keturunan yang sah. Oleh karena kosongnya jabatan penghulu orang asing itu ternyata menimbulkan masalah, terutama stabilitas keamanan, maka Francis kemudian mengusulkan agar jabatan tersebut segera diisi kembali. Francis mengusulkan agar Raden Muhammad Zein yang sudah memegang jabatan sebagai Kepala Distrik Lais, diangkat sebagai Penghulu Orang Asing dengan gaji f. 150 per bulan. Usulan tersebut kemudian di sampaikan melalui Residen Pantai Barat Sumatra, kepada Pemerintah Pusat di Batavia. Akan tetapi, karena terbentur masalah anggaran keuangan pemerintah, maka usulan pengangkatan Raden Muhammad Zein baru terealisasi pada tahun 1838, tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1838.


Sementara itu, Bupati Muko-Muko, Sultan Khalifatullah Hidayat Syah (Tuanku Seri Maharaja Chalipatullah Indiyat Shah) juga tak luput dari pemangkasan tunjangan bulanannya. Tunjangan bulanannya yang semula diterima sebesar f. 600 perbulan, kini dipangkas menjadi f. 150 per bulan. Bahkan di wilayah Muko-Muko telah di tempatkan seorang Kontrolir yang dibantu oleh 22 orang Opas (polisi Belanda), yang secara tidak langsung juga untuk mengontrol dan mengurangi ruang gerak kekuasaan Sultan Muko-Muko.


Nasib Sultan Muko-Mukoini bahkan lebih tragis dibanding dengan nasib para bupati lainnya (Pangeran Sungai Lemau dan Pangeran Sungai Itam). Laporan de Perez yang disampaikan kepada Dewan Hindia, Komisaris Pemerintah untuk Sumatra di Batavia, menyebutkan bahwa Knoerle telah menurunkan Bupati Muko-Muko, karena dianggap menindas rakyatnya. Bupati Muko-Muko tersebut kemudian di bawanya ke ibukota Bengkulu, dan akhirnya meninggal di Bengkulu pada awal tahun 1834.


Posisi para bupati, serta para kepala pribumi lainnya, termasuk anak keturunannya benar-benar mendapat tekanan yang berat selama masa pemerintahan Belanda di bawah kepemimpinan Asisten Residen J.H. Knoerle.


Reformasi di bidang hukum (pengadilan) yang dilaksanakan oleh J.H. Knoerle tidak hanya berdampak bagi surutnya pendapatan bagi para kepala pribumi dan anak keturunannya, tetapi juga membawa akibat jatuhnya prestise mereka di dalam masyarakat tradisionalnya. Sebaliknya, J.H. Knoerle menganggap bahwa golongan anak raja (anak keturunan elite pribumi) sangat berbahaya bagi masyarakat, dan merugikan pemerintah Belanda.


Dalam sistem pengadilan sebelumnya, golongan anak raja ini selalu lepas dari jeratan tindak pidana kriminal, meskipun telah melakukan pelanggaran tindak kriminal. Oleh sebab itulah, Knoerle lalu menerapkan sistem pengadilan yang keras terhadap mereka. Beberapa dari mereka ada yang terkena vonis hukuman mati, dan dipecat dari pekerjaannya, serta ada pula yang dibuang ke Pulau Jawa.


Tindakan Knoerle yang terlalu keras terhadap para kepala pribumi dan tradisinya ini jelas bertentangan dengan kebijaksanaan politik pemerintah kolonial Belanda itu sendiri. Dalam hal ini, Komisaris Jendral Van Der Capellen pernah menginstruksikan agar para pegawai Eropa memperkokoh posisi para bupati serta mendukung sistem pewarisan jabatannya. Instruksi itu kemudian dituangkan melalui Surat Keputusan Gubernur Batavia tertanggal 21 Desember 1827, nomor: 15. Intinya menganjurkan agar para pegawai Eropa menyambut para bupati dan para kepala pribumi lainnnya dengan ramah-tamah, serta memperlakukan dengan penuh hormat sesuai dengan kedudukan dan jabatannya. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas keamanan serta memupuk rasa persahabatan baik dengan para kepala pribumi maupun dengan rakyat bawahannya.


Tindakan keras yang dilakukan oleh Knoerle ini juga mendapat kecaman dari Francis, pengganti sementara setelah kematian Knoerle. Menurut Francis, penghapusan lembaga adat daerah, seperti penghapusan gelar kepangeranan, serta hak-hak tradisional para kepala pribumi di Bengkulu, tidak hanya memutuskan ikatan pemerintahan tradisional dengan pemerintah Belanda, tetapi juga akan menimbulkan gejolak sosial. 
Selanjutnya, Francis juga memberikan komentarnya mengenai penyebab terbunuhnya Asisten Residen Knoerle. Dikatakan, bahwa akibat tindakannya yang terburu-buru itu telah menimbulkan berbagai macam persoalan yang dihadapinya, sehingga Knoerle harus menebus dengan nyawanya.


Posisi para kepala pribumi dan anak keturunannya justru semakin tertekan kehidupan tradisionalnya. Intervensi yang terlalu mendalam dalam kehidupan tradisional para kepala pribumi telah menimbulkan sikap antipati. Sikap antipati para kepala pribumi ini jelas sangat merugikan pemerintah kolonial Belanda dalam rangka eksploitasinya.


Akibat intervensi yang terlalu mendalam terhadap kehidupan tradisional para kepala pribumi serta tindakan yang sewenang-wenang itulah yang diduga kuat telah membawa kematian Knoerle. Peristiwa terbunuhnya Asisten Residen Knoerle ini telah mengundang perhatian serius pemerintah pusat Batavia. Komisaris Jendral Van den Bosch selaku peletak dasar dari sistem tanam paksa pun datang ke Bengkulu untuk mempelajari kasus itu. Setelah dipelajari dengan seksama, akhirnya diputuskan untuk tidak akan mengambil tindakan yang keras terhadap para kepala pribumi dan rakyatnya yang telah terlibat dalam pembunuhan itu. Sebaliknya, van den Bosch menyarankan agar para pegawai Eropa lebih berhati-hati serta bersikap lunak terhadap para kepala pribumi dan penduduk Bengkulu.


Peristiwa 1835, 1838, dan 1857.
Dalam tahun 1835, telah terjadi dua kali peristiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pertama, terjadi pada bulan Mei, rakyat disekitar dusun Tertik telah menghancurkan pos keamanan Belanda yang ada di susun Keban. Perlawanan rakyat terus berlanjut hingga bulan Juni. Sikap anti-pati Radja Malio (Depati Tjinta Mandi) dapat diketahui melalui isi suratnya yang ditujukan kepada Depati Tanjung Erang dan Proatin Benkoeloe Sabha Boekit serta anak-buahnya yang ditulis pada tanggal 26 Juni 1835. Isi suratnya menganjurkan agar tidak bekerja-sama dengan pemerintah kolonial Belanda terutama dalam hal penyediaan tenaga kerja (kuli). Tampaknya anjuran itu cukup serius karena disertai dengan ancaman, bahwa apabila ada diantara mereka yang masih bekerja-sama dengan Belanda, maka akan bermusuhan dengan Depati Tjinta Mandi yang sudah bersepakat dengan para proatin lainnya.


Sistem kontrol langsung yang dilakukan oleh para ambtenar Belanda tidak saja dapat menimbulkan sikap antipati para kepala pribumi, tetapi juga dapat menimbulkan anti-pati spontan dari penduduk pribumi yang tidak suka ditekan kebebasannya. Insiden terbunuhnya seorang gezag-hebber (penguasa) di Selumah oleh orang-orang Pasyemah yang terkenal sifat kerasnya merupakan salah satu bukti anti-pati spontan penduduk pribumi terhadap pemerintah kolonial Belanda. Insiden yang menewaskan Tuan Boss itu terjadi pada tanggal 28 Juni 1835, ketika orang-orang Pasyemah yang akan pergi ke Bengkulu (ibukota) ditahan di perjalannya oleh Tuan Boss dan akan dirampas senjata mereka.


Orang-orang Pasyemah memang terkenal sangat keras sejak zaman Inggris di Bengkulu. Sebagai kelompok preman mereka tidak mempunyai pekerjaan selain sebagai pencuri, penyamun, dan perampok yang selalu disertai dengan tindak kekerasan, bahkan tidak segan-segan melakukan pembunuhan terhadap siapapun yang dianggap menghalanginya. Menurut laporan para kepala pribumi di Selumah, orang-orang Pasyemah di samping telah membunuh Tuan Boss, juga telah merusak dan menyerbu beberapa dusun di Distrik Selumah dan Distrik Talllo. Tindakan brutal yang dilakukan oleh orang-orang Pasyemah itu tidak hanya menimbulkan rasa takut di kalangan pejabat birokrat kolonial saja, tetapi juga di kalangan kepala pribumi dan penduduk pribumi lainnya.


Perlawanan rakyat pegunungan suku Rejang terhadap Belanda telah terjadi pada tahun 1838, yang mengakibatkan terbunuhnya Asisten Residen Boogard. Perlawanan rakyat suku Rejang terus berlanjut hingga tahun 1857. Perlawanan rakyat dari dusun Tumedak, Tertik, Taba Padang, dan Kelilik juga mengakibatkan tewasnya seorang kapten Belanda yang bernama Deleau yang dikenal angkuh bahkan melecehkan penduduk, terutama para kepala dusunnya (Ginde). Disinyalir tokoh yang berada dibalik peristiwa Tumedak diketahui bernama Rajo Alam, Ginde Sebetok, dan Ginde Ubei.


Peristiwa 1873
Kebijakan politik kolonial Belanda tentang penerapan sistem pajak kepala - “hoodfbelasting” dianggap sebagai pemicu utama timbulnya perlawanan rakyat. Namun demikian, kebijakan politik kolonial Belanda sebelumnya juga memmpunyai andil yang cukup penting dalam memicu gerakan perlawanan anti penjajah.
Penghapusan “regentenbestuur” (pemerintahan bupati) telah mengakibatkan sikap antipati para elite pribumi Bengkulu. Seperti yang terjadi pada Pangeran Muhamad Syah II dari wilayah Sungai Lemau yang telah dibebas tugaskan dari jabatan regent secara resmi melalui Surat Keputusan Pemerintah tertanggal 5 Desember 1861 La Me yang sifatnya rahasia. Pada tanggal 25 Desember 1862, Pangeran Bangsa Negara juga telah dibebastugaskan dari jabatan Regent Sungai Itam melalui Surat Keputusan Pemerintah tertanggal 25 Desember 1862, Surat Rahasia La K. Jabatan Regent Sungai Itam itu tetap dibiarkan kosong, hingga Pangeran Bangsa Negara sendiri telah meninggal pada tanggal 6 Januari 1863. Sultan Takdir Kalipa Tullah Syah. Sultan Muko-Muko pun telah dibebastugaskan dari jabatan regent melalui surat Keputusan Pemerintah Hindia - Belanda tertanggal 22 April 1870, nomor. 41.


Dalam tahun 1873, setidaknya tercatat ada dua perstiwa perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial Belanda. Perlawanan rakyat dari dusun Tanjung Terdana pada bulan April yang dimotori oleh Burniat dan Meradayan nyaris melumpuhkan pusat pemerintahan kolonial Belanda di Fort Marlborough – bahkan nyaris mengancam nyawa Asisten Residen H.C. Humme. Munculnya perlawanan rakyat Tanjung Terdana, selain dipicu oleh pajak kepala “hoofdbelasting” juga karena kebijakan penghapusan “regenten bestuur” Menurut sebuah sumber, peristiwa penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 18 April 1873.


Demikian juga perlawanan rakyat dari Bintunan yang dipelopori oleh pasirah Mardjati – yang lebih dikenal dengan nama Ratu Samban. Menurut catatan sejarah, peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 2 September 1873 yang menewaskan Asisten Residen Vam Amstel dan Controleur E.F.W. Castens.


PENUTUP
Sesungguhnya, sejarah itu sendiri - history as story (sejarah sebagai kisah) hanyalah bagian kecil dari totalitas rentetan kejadian – history as actually (sejarah sebagai peristiwa) yang begitu cepat berlalu dan tak mungkin terulang kembali. Karenanya, tanpa adanya jejak peristiwa, sejarah nyaris takkan hadir – yang ada mungkin hanyalah berupa dongeng – kronik belaka. Sejarah adalah kronik yang hidup, sedangkan kronik adalah sejarah yang mati, demikian ungkapan dari Beneditto Croce – dan lebih ditegaskan lagi “no document no history”.


Sejarah perlawanan rakyat Bengkulu pada masa penjajahan Inggris (1685-1825) hingga berlanjut pada masa penjajahan Belanda (1825-1842) sebenarnya tak cukup untuk ditulis dalam makalah yang serba amat terbatas ini. Juga diakui bahwa masih minimnya berbagai dokumen sejarah yang membuktikan peristiwa perlawanan rakyat Bengkulu disepanjang sejarahnya, menyebabkan penulisan sejarahnya menjadi kurang lengkap dan kurang detail.


Sayang, jejak - bukti peristiwanya pun sudah banyak yang lenyap ditelan jaman – dan sebagiannya lagi yang masih berjejak nampaknya belum juga tersentuh secara maksimal sebagai warisan sejarah budaya Bengkulu. Oleh karenanya, diperlukan “good will” baik melalui kebijakan pemerintah daerah setempat, maupun kesadaran sejarah masyarakatnya.


Pelacakan dokumen sejarah berupa arsip-arsip yang tersebar diberbagai tempat, amat diperlukan, sehingga penulisan sejarah masyarakat Bengkulu akan semakin lengkap. Dengan kata lain, disarankan kepada pihak pemerintah setempat yang berwenang menangani masalah kearsipan dapat segera melaksanakan kebijakan untuk melacak – mengiventarisasi hingga mengkoleksi berbagai dokumen – arsip yang masih tersimpan diberbagai tempat. Sebagai bahan informasi, arsip khusus Bengkulu yang tersimpan di kantor Arsip Nasional RI dengan kode “Bengkoelen” nomor 38 kondisinya mungkin semakin rapuh dibanding dengan kondisi 15 tahun yang lalu ketika penulis sedang melakukan kajian literatur disana. ——————–(Bengkulu, 17 Mei 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar